Hujan

image

“If I could bottled the smell of the wet land after the rain, I’d make it a perfume and send it to your house”

Kamu tahu? lembutnya aroma tanah yang basah karena hujan itu seperti morfin. Perlahan masuk lalu memelukmu, menenangkan ragu yang berangan, lalu memaksamu untuk terus menghirup. Seakan tidak ada ketenangan selain itu.

Aku suka aroma hujan, begitu juga kamu, kan? Aku ingat, pertama kali kita berdiri di bawah atap stasiun. Saat itu hujan deras, kita berdua terjebak oleh kegaduhan air yang menghujam atap. Cukup lama kita terdiam. Masing-masing dari kita seakan terhipnotis aroma hujan, menikmati kesunyian di tengah kegaduhan.

Kamu tahu? sejak saat itu aku menyukai aroma hujan. Mengingatkanku pada senyumanmu menatap langit yang mendung. Aku menerka-nerka, apakah kamu tersenyum atas hujan yang memaksa kita berdiri berdua saling berbagi sunyi, atau tersenyum karena sekedar bersyukur atas hujan yang akhirnya datang mengakhiri musim kemarau panjang.

Aroma hujan merangsang otakku untuk berpikir. Semacam doping yang memaksa tubuh untuk mengirim sinyal-sinyal saraf ke otak. Banyak sekali pemikiran yang terlintas. Mulai dari hal filosofis seperti untuk apa kita hidup, atau hal sepele tentang kopi apa yang akan menemaniku membaca surat kabar esok pagi. Aku selalu senang dengan pemikiran random yang terlintas kala hujan.

Kamu tahu? Kamu tidak pernah luput dari pemikiran yang terpikir kala hujan. Lagi-lagi senyumanmu terlintas dalam angan, lengkap dengan palung lesung pipitmu. Iya, itu adalah wajahmu yang secara tidak sengaja kulihat saat kita sedang duduk menunggu hujan reda, kamu yang menatap rintik gerimis seakan tidak terganggu dengan tatapanku.

Aku hanya ingin mengingatkanmu tentang suasana hujan ini. Beberapa paragraf sepertinya tidak akan cukup, tapi setidaknya aku sudah mencoba, kan?

Kamu tahu? Aku menulis ini saat garis gerimis mulai hilang.

Leave a comment